Postingan

Utusan Sarekat Islam, Indie Weerbaar

Gambar
Pada tanggal 3 Januari 1917, utusan Indie Weerbaar menaiki kapal SS Sindoro berlayar ke negeri Belanda. Mereka adalah Abdoel Moeis (Sarekat Islam), Dwidjosewojo (Boedi Oetomo) Rd. Temenggoeng Danoesoegondo (Regentenbond), Pangeran Koesoemadiningrat (Bupati Magelang) yang didampingi Rhemrev, Laoh dan Dirk Van Hiloopen Labberton. Peristiwa itu adalah peristiwa besar, karena kapal SS Sindoro didekorasi dengan bendera dan bunga, bahkan setengah deknya disediakan untuk para pengantar yang mengucapkan selamat jalan. Lebih-lebih lagi bagi Abdoel Moeis. Dua hari sebelum keberangkatannya, di Bandung, ia diantar ke stasiun kereta api dengan iringan musik dan pawai besar-besaran. Konon 1.000 simpatisan Syarikat Islam ikut mengantar kepergiannya Berbanding terbalik dengan keadaan di luar, di dalam kapal SS. Sindoro, para anggota komite Indie Weerbaar itu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari penumpang lainnya, yaitu orang-orang Belanda. Mereka memandang jijik, menolak dudu

Dituntut Hukuman Mati

Pada bulan Mei 1919, Abdoel Moeis mengadakan kunjungan ke Toli-toli, Sulawesi Tengah, untuk mempropagandakan Sarekat Islam di sana. Sebulan kemudian Juni 1919, terjadi pemberontakan, Controleur de Kat Angelino dan sejumlah pegawai pribumi di sana dibantai nyawanya. Dampak dari peristiwa itu Abdoel Moeis (36 thn) diadili dengan tuduhan sebagai pendorong pemberontakan. Tuntutan dari Pemerintah Hindia Belanda adalah : Hukuman mati. Isi pidatonya yang mengena itu : “Negeri kita oleh Almarhoem Multatuli dioempamakan dengan seboeah kaloeng moetiara, jang melingkar di chatoelistiwa. Boleh kita oempamakan dengan seboeah roemah besar, tanah pekarangan jang amat soeboer. Tapi achti roemah itoe, Boemipoetra tiada mengoeroes roemah itoe sendiri. Maka datanglah orang­-orang asing boeat menjelesaikan. Disoeroehlah kita bekerdja, disoeroehnja kita memboeat djalan, memperbaiki atap jang botjor, achirnja mereka itoe mengambil kamar jang baik boeat kediamanja, sedang kita tertoelak pindah ke kamar b

Teguh Tetapi Fleksibel

Gambar
Bila kekerasan hati digambarkan sebagai besi atau air, maka kekerasan hati Abdoel Moeis bisa digambarkan sebagai air. Ia keras hati, tetapi hanya kepada dirinya sendiri. Terutama sebagai orang tua, kekasih yang santun ini, begitulah ia digambarkan oleh kekasih hatinya, yaitu anak2nya, adalah figur yang fleksibel, ia selalu menghormati pikiran, pendapat anak-anaknya, bahkan diusia dini sekalipun. Setelah anak2nya dewasa, kalaupun ia tidak setuju dengan pilihan hidup mereka, ia akan tetap menghargainya. Pesannya selalu : "Jadilah yang terbaik, menjadi apapun dirimu". Adalah Asmanah (1924), yang di masa lalu menguji keteguhan Abdoel Moeis. Ia adalah anak asuh Abdoel Moeis, setelah anak pertamanya meninggal di Garut. Sebagai adik bungsu istrinya, Soenarsih, Asmanah bisa dikatakan kekasih hati Abdoel Moeis yang pertama. Setelah dewasa Asmanah memutuskan untuk menjadi bintang film, hal yang paling dibenci oleh ayah asuhnya, tetapi karena ia menghargainya, ia membi